Pelepasan Remah 35

6:31:00 PM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 35

Kisah sebelumnya

Entah apa yang ada di fikiranku saat itu, kuraih pena dan kertas putih tanpa garis di atas meja dan menulis sebuah pesan, mungkin pesan kematian. Aku benar-benar lumpuh tanpa sosok itu, tak memiliki semangat dan gairah sedikitpun untuk melanjutkan hidup. Darah segar mengucur deras dari lengan kiriku dan menetes di atas kertas bercampur dengan air mata yang memberi noda berbentuk gelombang.

Kau berhasil memberikan perpisahan manis untukku
Tapi bukan itu yang aku mau
Hangat pelukmu dan nyaman tubuhmu, kembali jadi ilusi
Berperan dalam opera hidupku dan berlalu seperti mimpi
Meninggalkanku dalam kegelisahan tak berbatas
Keterpurukan yang membentang luas
Dan kesendirian yang tak henti menghempas
Jiwa rapuhku...
Raga lemahku...
Menguntai angan bersama peranakan iblis dan malaikat
Hadirmu, menjadi satu-satunya tali penyelamatku dari jerat sang pencabut nyawa yang sedari tadi mengetuk pagiku.

. . . . # # # . . . ...

Dalam pingsan, aku sekarat. Jiwaku melayang-layang.
Akankah aku hinggap di surga? Atau mendekam selamanya di neraka?
Aku benar-benar tak tahu, aku hanya pasrah menerima itu semua.
Berbekal intuisi, Andi lalu mendobrak kamar tempatku bersemayam setelah aku menelfonnya dan menyeracap kata-kata tak jelas. Ia membeku di depan pintu selama beberapa saat ketika melihatku tergeletak lemah dengan darah mengucur pelan dari lengan kananku dan noda darah belum kering yang membentuk sapuan tangan di mulutku.
Lewat sebuah teriakan, supir dan pembantu Andi datang, mengendong ragaku ke rumah sakit. Pada saat itulah, prosesi sakral mulai melumatku.

. . . . # # # . . . ...

Jiwaku melayang. Meninggalkan ragaku seperti tersedot tarikan maha dahsyat, plup... jiwaku terbang, melayang-layang. Mengambang di tengah udara yang memiliki kesan berbeda dengan sudut mataku sekarang. Aku tertarik ke atas dengan kecepatan konstan, kucoba berontak karena rasa takut yang menjalar hebat, kutendang-tendangkan tungkai kakiku, menyibak tumpukan awan yang mulai berjajar di sekitarku. Gelombang angin besar mendadak menampar kasar tubuhku, membuatku pontang-panting tak karuan. Aku berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Semua kata-kata mandek di tenggorokan. Daratan di kakiku semakin mengecil hingga membentuk titik biru saat tubuhku terus melayang dan menggerus kesadaranku.
Aku kembali tak sadarkan diri.
Udara dingin menyergap. Membuatku gelagapan, menguliti tulangku tanpa ampun. Aku mengigil hebat. Kesadaranku mulai merayap, aku masih melayang di antara kegelapan dengan kelebat cahaya buram, terus mengambang ke atas dan menembus genangan air yang mengambang sebelum akhirnya berhenti mendadak. Mataku membelalak dan kakiku memperoleh pijakan, di antara air yang menengelamkan setengah tubuhku. Kulihat lempengan batu hitam dan putih berpadu ganjil di antara telapak kakiku, menambah kebingungan saat aku mendapati ragaku terdampar di sebuah danau tanpa tepi dengan kabut melahap seluruh bagiannya.
Nafasku berbaur degan kabut tipis di antara udara yang membuat tubuh menggigil, sebagaimana normalnya danau kebanyakan, yang mempunyai garis tepi berupa daratan. Danau beraura mistis ini sama sekali tak punya hal itu, menipis dengan warna hitam di kejauhan, lalu berbaur bersama kelam, lengkap dengan kabut samar membatasi jarak pandang. Aku mendapati tubuhku telanjang bulat di tengah-tengah danau, setengah tubuhku tenggelam dan kurasakan dingin yang begitu keparat untuk di ungkapkan.
Ku susuri danau berwajah tenang yang menelan setengah tubuhku itu, kesana kemari berharap ada daratan atau gundukan tanah yang dapat aku singahi, tapi setelah sekian lama aku berjalan menyibak air, daratan yang aku harapkan tak kunjung datang. Kupaksakan lagi langkah menyibak air bening yang terasa amat berat, kelamaan aku bingung menentukan pijakan. Ada yang tak beres dengan danau beralas lempengan batu tipis berwarna hitam dan putih ini. Aku kacau.
Untuk pertama kalinya angin lembut bersentuhan dengan wajah danau itu setelah sekian lama aku berdiri dengan jemari berkerut, membuat tubuhku terus bergidik. Kutebarkan jala-jala mataku ke segala penjuru. Lenggang, hitam, dan kelam. Lelah mengitari danau tak berujung, kubenamkan tubuhku di dalam danau. Tubuhku bertolak, aku terperanjat, terpeleset dan seluruh tubuhku tenggelam. Jantungku berdesir kencang saat mendapati kulitku menjadi transparan. Tulangku hampir rontok saat kudapati fakta selanjutnya, aku bisa bernafas di dalam air. Apa aku sudah mati? Atau aku terlalu banyak menelan pil relaksasi?
Lempengan batu hitam dan putih yang tadinya menjadi dasar peyanggah danau mendadak runtuh dan menghantarkanku dalam pekat. Meninggalkanku mengambang dalam kegelapan total sebelum akhirnya muncul gelembung air dengan bayangan wajahku tercetak disana. Aku berontak, berusaha meninggalkan tempat itu saat melihat sebuah kenangan tempat rasa sakitku bergumul jadi satu. Kelopak mataku perih dan air mataku mengambang, berubah menjadi gelembung yang menyerupai cermin satu arah. Cermin tempat segala dosa dan borok hatiku berkiblat menjadi sebuah sinema. Aku benci saat menghadapi penyakit-penyakit hatiku itu. Apa neraka itu tepat memproses rasa sakit?
Aku berusaha menjauh dari tempat itu tapi otot sarafku tiba-tiba tak lagi dalam kendaliku, tubuhku tak mengijinkanku bertolak dari tempat itu. Tubuhku menghianatiku. Butir-butir air mata terus dipaksa keluar dari inangnya dan kemudian bertransformasi menjadi gelembung air sebelum akhirnya berubah menjadi lempengan kaca tempat kenangan-kenangan buruk menjadi hidup dan bertaji. Dan memaksaku mengingatnya, menyelaminya dan merasakannya. Aku benci melakukan hal itu.
Sekelebat bayangan hadir dan tubuhku langsung lumpuh, kembali kurasakan dera yang begitu berkuasa di tempat ini. Kupejamkan mataku, tapi sama saja, aku masih bisa melihat bayangan di depanku. Sesuatu di dalam tubuhku menangis, merongrong minta tolong, memohon untuk di bebaskan. Batinku.
Cermin berupa potongan kenangan memutar ulang kejadian-kejadian penting di dalam hidupku seperti film. Aku dipaksa menyaksikan ulang peristiwa-peristiwa yang mungkin tak lagi mampu aku simpan di dalam otak. Tapi mengendap disana, menunggu untuk di putar ulang. Dadaku berdesir nyeri saat wajah ayahku tampil, adegan pertama yang aku saksikan adalah saat ia dan aku yang masih belum sekolah menghabiskan sore di halaman belakang rumah dengan membuat perahu kertas dan kemudian menghanyutkannya di aliran sungai dekat rumah sambil sesekali memeluk dan mendekap tubuh mungilku, adegan selanjutnya lalu berpindah saat ia tersenyum bangga dan memanggulku di pundaknya saat aku memenangkan lomba pidato tingkat antar SD, lalu menutup hari itu dengan makan bersama seluruh keluarga di sebuah pemancingan.
Museum menjadi tempat yang menjadi latar belakang kenanganku dengan ayah, saat ia masih rutin hampir sebulan sekali memaksaku ke tempat itu dan menceritakan banyak hal lebih detail daripada orang yang bertugas. Kemudian, satu persatu kenangan berkelebat membuat hatiku hangat, saat ayah mengajariku mengendarai sepeda, membuat proyek sains bersama-sama, serta memotret binatang dan tumbuhan di sepanjang jalan saat kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Aku ingat benar saat-saat itu, saat kami terbahak dan bahagia. Aku merindukannya.
Ibu menjadi sosok selanjutnya yang dimuat ulang dalam berbagai kenangan, saat-saat liburan panjang sekolah, aku, kakak perempuanku dan ibu selalu berusaha membuat berbagai macam makanan. Tapi yang paling berkesan adalah saat kami membuat donat dan berlomba menghias donat dengan berbagai toping yang kemudian di nilai ayahku saat ia pulang. Lalu saat ibuku lebih membiasakanku makan jajanan pasar dan jajanan tradisional daripada junk food di pusat perbelanjaan. Ibu juga lebih suka menghabiskan waktu bersama dengan mengadakan pesta kebun di pantai, bumi perkemahan atau menginap di pegunungan untuk lebih menikmati waktu yang hadir di antara satu keluarga. Tapi yang paling membekas untukku adalah buku, setiap malam sebelum tidur, selalu ada buku untuk dia dongengkan, saat ulang tahun atau saat ia memberiku kejutan, ia selalu menghadiahiku buku. Ia lebih membiasakan buku untukku daripada nasi sebagai pengganjal lambung. Walaupun aku dan kakakku berbeda jenis kelamin, ibuku tak pernah membeda-bedakan kami, semua tugas di rumah dibagi rata. Mulai dari mencuci baru dan piring, menyapu, menyetrika, menyiram tanaman dan banyak hal, ia tak perlu mengucapkan kata untuk mengatakan jika dia berbuat adil untuk seluruh anak-anaknya.
Jika ayah mengajariku memotret binatang dan tanaman, ibu lebih suka memotretku setiap tahun ajaran berakhir dan memajangnya di tangga menuju lantai dua. Mendongeng banyak hal hingga aku terlelap dan membuatkanku susu coklat sebagai pelengkap. Selain mengakrabkanku dengan buku, ibu jugalah yang mengenalkanku dengan film dan mencekoiku dengan beragam film animasi bermutu untuk media belajar dan diskusi bersama. Kami jarang ke pusat perbelanjaan modern, sekalipun kami kesana, ibu hanya memiliki tiga tujuan, ke toko buku, ke bioskop, dan untuk mengikuti lomba yang sering di adakan disana. Dari ibu pulalah aku mulai berwirausaha, jatuh bangun hingga akhirnya aku dapat membangun sebuah cafe.
Cermin selanjutnya mengungkapkan remah kenanganku dengan kakak perempuanku, bermula dengan saat-saat kami sering bermain bersama, tidur di dalam tenda di belakang rumah, masak bersama saat ibu tak ada, membacakanku buku cerita saat aku ingin tidur siang, saat kami membuat kue ulang tahun dan membuat kado untuk ulang tahun pernikahan orang tua kami, dan yang paling aku ingat adalah saat ia berurai air mata karena cinta pertama. Saat kelas tiga SMP, ia di damprat ayahku habis-habisan karena pulang malam dan di antar oleh seorang lelaki remaja ke rumah. Ayahku ingin kakakku fokus dengan sekolahnya sebelum memikirkan hal-hal yang tidak-tidak, tapi dari kejadian itu aku paham, jika ayah selalu menanamkan obsesi untuk diwujudkan anak-anaknya. Mulai saat itu, ayahku mulai berubah, dia lalu menyempatkan waktu untuk mengantar kakakku berangkat sekolah dan menjemputnya saat pulang. Bahkan saat les dan tambahan pelajaran mulai membengkak, ia juga menyempatkan waktu untuk hal itu.
Jiwa pemberontak ada di dalam setiap manusia, jiwa itu pula yang hinggap di dalam diri kakakku pada saat itu. Bukannya jera, ia dan kekasihnya malah menganggap ayahku sebagai tantangan yang harus mereka hadapi bersama. Klise memang, tapi aku paham dengan pola fikir kakakku dulu, dan itu menjai topik faforitku untuk menggoda kakakku saat kita sedang berkumpul bersama ibu. Aku adalah kurir pengantar surat dari kakakku yang di hukum tak boleh keluar rumah setelah kejadian itu, untuk kekasihnya yang selalu menunggu di jalan perempatan sebelum kompleks kami. Dengan upah sebungkus permen atau sebatang coklat, aku menjadi saksi pergumulan kakakku dengan pacarnya yang berakhir saat mereka kelas dua SMA, lebih tepatnya karena kakakku tersedot pesona seorang teman sekelas sesama pengurus OSIS yang akhirnya menikah setelah ia gonta ganti pacar tiga kali saat kuliah. Kakakku yang memutuskan pacarnya lagi, sebelum akhirnya ia mengajak orang itu kembali menjalin hubungan dan menikah beberapa bulan kemudian.
Jiwa pemberontak pulalah yang akhirnya memisahkan keluargaku dengan sosok anak pertama yang jadi tumpuan harapan. Keenan, kakak lelakiku, aku mengenalnya sebatas nama dan beberapa lembar foto. Kenanganku tentangnya tak terlalu banyak, bahkan samar, umur kita terpaut sepuluh tahun, dia meninggalkan rumah saat aku masih belajar di sekolah dasar. Aku masih ingat saat dia bertengkar dengan ayahku, di sertai tangis menjadi-jadi ibuku sebelum akhirnya dia pergi dan tak kembali.
Aku tersaruk potongan kenangan masa lalu. Dadaku bergemuruh hebat. Sebagaimana penyesalan yang selalu hadir di akhir. Aku merindukan mereka dan mulai mengurai satu persatu kesalahan yang aku buat. Aku ingin meminta maaf dengan mereka. Sebuah bayangan mendatangiku dan memelukku erat, memberiku kenyamanan hingga aku memejamkan mata dan terbangun dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Potongan kenangan kembali membawaku ke dalam salah satu titik perubahan hidupku, saat aku digampar ayahku hingga menyentuh wajah keramik, perih mengiris rahangku tapi tangis ibukulah yang lebih menyayat batinku. Aku terluka melihat sorot matanya, punggung ayah yang berjalan menjauh menohok relung hatiku. Jauh di dalam hatiku, aku membenci diriku sendiri.
Aku terbangun dengan tubuh terselimuti gumpalan awan tipis saat langit merekah merah menjelang sore hari, dari kejauhan muncul dua orang lelaki yang berjalan menyusuri garis pantai. Hatiku berdesir saat Willy menyungingkan senyum untukku, ada gelombang kesedihan yang menghempas hatiku dan memunculkan keinginan untuk bertolak dari tempat itu. Tapi, lagi-lagi aku dihianati oleh diriku sendiri.
Kenanganku dan Willy diputar mulai saat kami bertemu dan berujung dengan sebuah kecupan dimana menjadi tanda hubungan kami yang intens. Gumpalan awan di tubuhku tersibak angin dan menyisakan dua buah tubuh lelaki dewasa yang telanjang, bergumul di atas ranjang dan mendesah penuh kenikmatan. Sorot mentari menghampar, membuat kulit berkilat karena bulir-bulir keringat. Lenguhan kembali mengudara dan aku benci kenangan-kenangan itu.
Bunyi kecipak selankangan menggema di udara, lenguhan kasar dan pagutan liar mulai memenuhi indra pendengaran. Ku dengar hembusan nafas Willy sebelum akhirnya kegelapan kembali datang dan memelukku erat. Aku berteriak lantang saat mendapati tulang-tulang di tubuhku bergemeletuk tak karuan, aku di himpit sosok kasat mata. Tubuhku di cengkeram tangan tak bertuan, dan menanamku dalam sebuah kawah.
Api berkobar disekitarku, dahaga mendadak menyerang tenggorokanku, kulitku melepuh tak karuan dengan nanah meletup di beberapa bagian. Rasa sakit maha dahsyat mengecupku hingga aku mati rasa dan tak lagi bisa merasakan apa-apa. Kelebat kenangan pembuat hati ngilu, miris, tersayat berulang menyiksaku untuk kembali aku resapi. Aku berteriak kesakitan saat api membakar bagian bawah tubuhku, menguarkan aroma campuran antara bau hangus dan aroma keringat ketika aku dan Willy berpadu jadi satu.
Bola api raksasa menghantam wajahku bersama kenangan saat spermanya bersemanyam dalam duburku, aku berteriak kesakitan, meminta tolong, meronta, menangis hingga tak lagi bisa air mata keluar dari inangnya. Jauh disana, di pinggir kawah tempatku diksiska, setelah kabut tersiba, bayangan keluargaku semakin lama semakin pasti dan utuh hanya bisa menonton proses penghancuranku dengan wajah datar tanpa ekspresi. Aku kembali terluka.
Aku berteriak kesakitan saat aku di kuliti dengan pisau karatan berlumur liur dan lendir saat kami bercinta, setiap inci tubuhku di sayat habis dengan cuter murahan. Aku memaki, aku mencaci, aku merutuk, tapi tenggorokanku malah megangga lebar saat cairan panas dari besi yang di lebur tertuang ke dalam tenggorokanku yang kerontang. Mengoyak habis organ dalam tubuhku, jantungku meledak, dan hatiku lenyap. Tubuhku kembali terbakar dan kesadaranku menghilang.
Tapi detik berikutnya tubuhku kembali seperti sediakala dan detik selanjutnya beragam siksaan kembali menggores luka, aku kembali di plonco dalam beragam dera, disayat, disilet, di kuliti, disiksa, dibakar, dicambuk, dicincang. Air mataku menderas, aku terus berteriak kesakitan, memohon ampun terhadap banyak hal. Segumpal emosi menghantam jantungku dalam ritme pasti dan berulang, menyisakan gelombang rasa sesak mendalam. Membuatku kembali menjerit kesakitan, meminta pertolongan.
Aku menyebut nama ibuku dan memohon pertolongan.
Jauh disana keluargaku masih bergeming dalam ketidakmampuan. Menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk aku jelaskan. Lama aku terkisap pada wajah ibuku. Kuucapkan maaf setulus mungkin, tapi tak ada satupun kata yang mampu aku ucapkan. Suaraku lenyap. Secercah harapan berkobar untukku, ibuku melambaikan tangan untukku. Kutatap wajah mereka satu-persatu, hatiku runtuh saat air mata mereka jatuh.
Hatiku hancur lebur sekali hantam, melihat tangisan keluargaku di ujung sana. Wajah ibuku membuatku tak lagi merasakan rasa sakit saat aku di cincang. Air mataku menyadarkanku untuk pasrah menghadapi apapun yang terjadi. Batinku menangis saat aku menatap garis lurus di bawah kelopak matanya, ketegaran ayahku memaksaku berusaha sekuat tenaga menerima segala macam siksa yang akan aku hadapi. Batinku terdera melihat ekspresi keluargaku melihatku terpasung di kawah untuk menerima siksa.
Bagiku, ini adalah pembalasan yang setimpal untuk perbuatanku selama ini. Proses penyiksaan ini sudah berlangsung begitu lama, hingga aku tak lagi ingat macam-macam rasa sakit yang sudah aku rasakan. Kejadian itu terus berulang beberapa kali, hingga akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima itu semua. Inikah nerakaku?
Setelah waktu membentang luas, sapuan lafaz Tuhan membasuh daun telingaku, meniupkan ketenangan khusus untukku. Memberiku guyuran air beku di tengah gurun gersang. Suara yang melantunkannya berdenting seperti lonceng, suara yang aku hafal benar. Ibu. Kembali bisikkan lafaz-lafaz junjungan Tuhan membasuh telingaku, tapi kali ini dengan suara yang berbeda. Berat, bijaksana, dan sangat tertata. Ayah. Itu suara ayah. Tapi bagaimana bisa? Tatakan batinku mulai kocar-kacir. Pandanganku menghitam, aku tak bisa melihat mereka, hanya dapat mendengar suaranya.
Lafal-lafal ketuhanan kembali berkumandang di telingaku, yang seakan-akan terasa amat asing untuk mendengarnya. Tapi aku pasrah menerima itu semua, iklas saat gendang telingaku diterpa. Sesegar sapuan angin dini hari. Aku merasakan kelembutan sapuan tangan ibu di wajahku, tapi bagaimana mungkin? Bagaimana itu bisa terjadi? Mustahil. Aku masih dalam proses penyiksaan yang tak tahu akan berakhir kapan. Tapi bagaimana bisa aku merasakan itu semua? Ini pasti hanya halusinasi. Lantunan ayat suci kembali berdengung merdu. Membombardil tubuhku. Memberiku sensasi damai, dan hempasan rasa tenang. Untuk pertama kalinya dalam proses itu, aku menyungingkan senyum.
“Abell,” kudengar suara paling akrab di gendang telingaku melantun sendu. Menyapa telingaku yang sudah lama tak mendengar suaranya. Sekejab, namun langsung membuatku miris. Sebersit nada lirih terselip dalam lantunan suaranya. Ibu melihatku dengan tatapan nanar, ia berdiri dengan kerudung biru lebar dan baju berenda kesayangannya. Kutatap mata dengan pupil kuning keemasan dengan semburat warna biru yang ia turunkan kepadaku.
“Ibu?” balasku setengah tak percaya. Rasa rindu merong-rong kuat di dalam dadaku, minta untuk segera di lampiaskan. Aku merasa seperti waktu telah berjalan satu abad, tak mempertemukanku dengannya. Kutatap sekitarku, kelam kembali melumatku.
Lorong hitam menjemputku, menantangku dan kembali menghanyutkan tubuhku. Aku terperosok, tergelincir dan terjatuh di sebuah jalan sempit. Aku berlari kencang menyusuri koridor panjang yang kini menghadang. Berhenti mendadak saat lorong panjang itu berubah menjadi ruang hampa. Sinar matahari mulai merambat menyusuri ruang hampa yang kutempati saat perlahan berubah menjadi ruangan yang tak asing bagiku.
Di atas ranjang tempatku tidur, aku mendaratkan tubuhku. Ku pejamkan mataku lama dan kudapati lagi citra kamar yang belasan tahun menjadi saksi bisu kehidupanku. Ku buka pintu kamarku, menuruni anakan tangga dan mendapati anggota keluargaku disana. Di ruang makan tempat terakhir kali aku menatap mereka. Lututku lemas, aku terpuruk, tak kuat menahan berat tubuhku. Lama aku habiskan waktu menatap wajah-wajah yang telah lama tak aku jumpai.
Aku bangkit beberapa saat kemudian, sempoyongan menghampiri ibuku. Meraih lengannya dan mencium punggung tangannya dalam deraian air mata. Tubuhku bergetar saat kubungkukkan punggungku, berlutut sambil mencium kakinya. Detik dimana aku merasa lumpuh karena bahagia.
“Kamu ndhak apa-apa nak?” tanya Ibu lembut. Tak ada yang berubah dari pengucapannya, masih persih seperti yang aku ingat.
“Abell nggak apa-apa Bu,” kataku pasti, “Abell minta maaf ya bu,” hanya itu yang mampu aku ucapkan, kutekuk kepalaku, aku tak mampu melihat wajahnya. Kutelan kenangan itu dalam satu tengukan, hingga aku tersadar akan air mata yang membasahi mataku.
“Iya nak, Ibu juga minta maaf sama Abell,” jelasnya sambil mengangguk pelan dengan senyum simpul yang tak pernah padam. Tatapan nanarnya seakan memang ditakdirkan untuk terus menguliti kesalahanku dan mengingatkanku akan dosa-dosa yang telah aku lakukan padanya. Aku masih belum bisa menerima konsep hati seorang manusia yang dapat menampung luasnya semesta dalam sebuah organ mungil. Aku luruh saat mendengar maafnya.
“Ini beneran Ibu?” tanyaku tak percaya.
“Ini nurani ibu nak,”
Aku tersenyum, lalu kupeluk lama tubuh mungilnya.
Sampailah aku di titik dimana aku siap mati.
Ini setimpal dengan semua perbuatan yang sudah aku lakukan, aku ihklas jika harus meregang nyawa sekarang, “Tuhan, jika kau ingin mengambil nyawaku sekarang, aku siap,” kataku pasrah.
Lorong hitam kembali menghisap tubuhku pelan, memuntahkanku lagi di tengah kubangan larva. Anehnya, aku tak lagi merasakan akit yang mendera. Batinku yang dulu penuh borok dan luka kini satu-persatu sembuh dan mulai tertutup seperti semula. Begitu pula dengan hati, tubuh dan fikiranku. Semuanya sembuh dengan cepat, membuatku girang. Kucuran larva tak lagi membuatku mendidih, melainkan meletubkan luka-luka masa laluku dan melenyapkannya.
Ritual penyiksaan itu terhenti saat tak ada lagi luka yang bisa diperas dari batinku lagi. Setelah meninggalkanku dalam keheningan dalam kisaran waktu yang teramat lama, lowong hitam kembali menyapaku bagai sahabat lama. Meletakkan tubuhku di ujung lorong panjang dengan cahaya benderang di ujung satunya.
Tegap aku berjalan menyambut sumber cahaya, setiap langkah yang aku tanggalkan menyisakan luka dan tangis penyesalan yang tak akan kembali aku ingat. Senyum tak bisa lagi aku tahan saat cahaya terang itu merengkuh tubuhku penuh kelembutan, memberiku kenyamanan dan rasa hangat hingga air mataku menetes pelan. Aku bahagia.
Tak ada yang lebih menyentak batinku daripada melihat sosok yang tak ku kenal hadir di ujung cahaya benderang itu, seorang gadis dengan rambut sepundak, menyambutku dengan senyuman yang begitu manis, ia mengulurkan tangan saat membantuku menaiki anakan tangga. Saat cahaya benderang itu menyapa kulitku, aku merasakan kehangatan yang seakan-akan mampu membasuh semua rasa sakitku. Ia, yang entah muncul dari mana, telah memberiku cahaya untuk keluar dari proses pembersihanku.
Dengan bantuan gadis remaja itu, kuterobos cahaya di ujung lorong. Aku mengawang, lepas, puas dan tak lagi merasa terikat oleh apapun. Dalam balutan selimut awan tebal, kubaringkan tubuh telanjangku, satu persatu bagian tubuhku terdetoksifikasi ulang, mereka di hancurkan, dan menghadapkanku dengan penyakit-penyakit hati yang selama ini tersembunyi. Di tempat itu, semua berproses dengan kejujuran hati, tak ada lagi tempat sembunyi. Dosa, borok, semua aku hadapi dengan lapang dada.
Ku proses ulang rekontruksi batinku, ku siapkan kembali jiwaku menuju sosok manusia yang baru. Sosok yang terlahir dua kali di dunia fana.


Kisah selanjutnya Klik disini



Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: