Pelepasan Remah 36

6:38:00 PM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 36


Kisah sebelumnya Klik disini


Tubuhku meradang saat terbangun di sebuah ruangan dengan bau steril, tanganku meraba kasur busa dan selimut lembut yang membalut tubuhku. Rasa perih di lenganku menimbulkan rasa miris, menyadarkanku akan kebodohan yang aku lakukan. Samar-samar, dengan sisa kesadaran yang baru saja hinggap di tubuhku. Aku merasa badanku remuk redam, persendi, persaraf, semuanya menguarkan rasa sakit. Butuh waktu seharian untukku kembali merasakan dan beradabtasi dengan sekitarku setelah lama berpijak dan mengambang di dunia antah berantah.
Ku tajamkan indra pendengaranku, mengecap lingkungan sekitar, bunyi sedikit ramai di luar ruangan, sedikit senyap di ruang tempatku berada, suara gesekan kulit dan kain saat lenganku bergerak, dan detak jam. Tik... tok... tik... tok... tik... tok...
Infus menggantung di salah satu lenganku, pergelangan tanganku juga berbalut perban tebal, masih ada bercak darah disana. Kesadaranku pulih. Aku perhatikan ruangan itu baik-baik, lalu mulai mengurai kebodohan yang membawaku hingga disini, tapi ada yang aneh dengan diriku sendiri. Dadaku tak lagi di himpit oleh sesuatu kasat mata, malahan terasa begitu lapang dan lega saat menarik dan menghembuskan nafas. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi drama dan tak ada lagi rasa sakit yang silih berganti menjadikan hatiku objek siksa, seakan-akan aku memiliki sudut pandang baru untuk melihat itu semua, aku menerima itu semua dengan lapang dada.
Senyum simpul terulas di wajahku. Aku menertawai kebodohanku sendiri. Terkekeh dengan kesalahan yang ku buat. Senyum simpulku langsung amblas saat Andi masuk ruangan tempatku di rawat dengan ekspresi menahan emosi yang siap untuk ia ledakan dengan sedikit sentilan. Jelas aku telah mengecewakannya, ia menyuruhku tinggal sementara di rumahnya untuk berjaga-jaga akan hal buruk terjadi padaku, tapi malah aku yang bertindak nekat di kamarnya.
“Aku minta maaf,” kataku dengan suara serak dan nada bergetar saat ia menatap sebal kepadaku, sorot matanya benar-benar menguliti batinku, “aku tahu kalau apa yang aku lakuin kemarin itu bodoh, aku juga nggak tahu kenapa aku bisa kepikiran buat bunuh diri segala, tapi sekarang aku sudah sadar Ndi. Hidup itu singkat dan aku mau jalani dengan hal-hal yang aku inginkan dan aku sukai,” timpalku penuh rasa salah.
Tapi Andi malah menyiksaku dalam keheningan selama beberapa menit sebelum akhirnya kembali menjawabku dengan ekspresi judes.
“Baguslah kalau kamu sadar, jadi ngemat tenagaku buat ngomelin kamu,” ujarnya masih dengan nada menohok.
Kuhembuskan nafas lega, ia tak akan mendiamkanku untuk waktu yang lama.
“Kamu nggak kasih kabar sama orang tuakukan Ndi?” tanyaku hawatir, berjaga-jaga, aku takut jika di bawa pulang paksa saat ibuku tahu keadaanku seperti ini.
“Nggak, aku nggak kasih tahu mereka. Mereka lagi di Medan, ada saudaramu yang mau nikahan disana. Kenapa emangnya? Kamu mau aku ngasih kabar sama mereka kalau kamu sekarang di rumah sakit gara-gara over dosis terus gagal bunuh diri? Peristiwa ini buat ayahmu bangga atau kamu yang bangga? Atau jangan-jangan kamu bahagia karena surga sama neraka sama-sama nggak mau nerima kamu?” jelas Andi sengak, aku tahu jika dia masih memendam emosi karena kebodohanku ini, tapi aku sadar, jika dia berhak melakukan hal itu.
“Ya enggak gitu juga Ndi, Bagus deh kalau mereka nggak tahu, aku nggak mau mereka kesini lihat kondisiku kaya gini,” jawabku seadanya, malas menyulut pertengkaran dengannya. Tapi, dalam hati kecilku, aku masih mengharap kehadiran salah satu keluargaku saat aku tak stabil seperti ini. Ada rasa rindu yang begitu menggebu jauh di dalam hatiku.
Ia tak menjawabku, duduk di salah satu sofa, mengambil acak majalah diatas meja dan mulai membaca untuk mengabaikanku. Aku mendengus sebal. Ia membuka salah satu bingkisan di atas meja, mengupas jeruk berukuran besar lalu melahapnya seperti aku tak hadir di sekitarnya.
“Haduh, aku kasian banget sih, lagi sakit gini malah di diemin sama sahabat sendiri,” kataku degan ekspresi muram.
Tapi Andi diam saja, tak menggubrisku, daripada mengoceh tak jelas dan kembali diabaikan, aku lalu menghidupkan televisi dan menonton hampa tayangan di depanku. Andi masih membaca majalah, mengupas jeruk lagi dan beberapa kali bermain handphone sebelum akhirnya dia mendekati ranjangku.
“Tapi Keenan tahu kalau kamu lagi di RS gara-gara OD,” celetuk Andi santai. Mataku membelalak dan tanganku melayang ke arah kepalanya sebelum akhirnya dia berhasil menghindar dan meninggalkanku dengan siksa. Ternyata ia sengaja tak ingin mengubur kebodohanku ini tanpa ada anggota keluargaku yang tahu. Sialan.
“Kenapa kamu bilang sama dia?” sambarku tak terima. Aku tahu jika bang Keenan tipikal orang liberal yang besar di luar rumah dan tak pernah pulang ke rumah sejak ia kuliah. Sepertiku juga, ia juga memiliki hubungan yang tidak baik dengan ayahku, “kamu dapet kontaknya darimana?” tambahku kebingungan. Setahuku, sejak Keenan minggat dari rumah, ia tak pernah berkomunikasi dengan keluargaku lagi.
“Biar semakin banyak orang yang bakal jadi pengingat kebodohanmu ini,” jawab Andi menjengkelkan, “nih, dia telfon. Tanya sendiri aja sama dia,” tambahnya sengaja membuatku sebal. Membuatku gelagapan dengan kejutan yang sengaja ia siapkan untukku.
Kusambut panggilan melalui skype dengan tingkah bingung, kulemparkan senyum ling-lung saat menatap wajahnya yang langsung mengingatkanku akan wajah ayahku, tapi dengan mata dan hidung ibuku. Wajah yang membuatku merindukan rumah. Wajah perpaduan kedua orang tuaku.
“Hey, Adiku seng paling goblok,” sapa Keenan dengan tawa merekah, kusambut dengan senyum cengengesan setengah hati, aku sama sekali tak siap dengan panggilan ini, “gimana kabarmu? Udah baik-baik aja kan?”
Kujawab dengan anggukan ringan.
Aku ingin bertanya balik tentang kabarnya, tapi wajah perpaduannya membuat kalimat itu berhenti di tenggorokan dan mandek disana, tak mau keluar.
“Aku tahu kita sudah lama nggak ngobrol, aku minta maaf buat hal itu,” lanjutnya dengan ekspresi serius, memandangkan cukup lama sebelum akhirnya kembali melanjutkan kalimatnya, “tapi setidaknya aku masih ngikutin kelakuanmu beberapa tahun belakangan, lebih tepatnya saat kamu bikin shock ortu kita sama pengakuanmu itu. Aku nggak ada masalah sama orientasi seksualmu, tapi kamu keterlaluan kalau pake drama bunuh diri segala,”
Aku tak ingin menyelanya, jadi kudengar saja semua ocehannya, ia adalah sosok yang hadir samar dalam hidupku. Anak pertama di keluargaku yang memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengembara di negeri orang saat kuliahnya belum selesai, lengkap dengan banyak peristiwa yang membuat ayah tak mau bicara lagi dengannya. Salah satu pemberontak yang menjadi inspirasiku.
“Aku sadar Bell, kalau aku bukanlah kakak yang bisa jadi panutan yang baik buat kamu, jadi izinkan aku buat minta maaf sebelum ngasih beberapa nasehat buat kamu karena apa yang terjadi padamu sekarang, kurang lebih adalah dampak dari tingkah lakuku dulu.” Aku tak paham apa yang akan bang Keenan bicarakan, tapi aku merasa jika ini bukanlah hal receh, “aku percaya jika jiwa setiap manusia mempunyai hasrat untuk merasakan bebas, dan untuk kasusku sendiri, kebebasan itu adalah hal wajib, karena hidup itu singkat dan kita bisa mati kapan aja, jadi kuputuskan untuk melakukan hal-hal yang aku ingin lakukan. Hal-hal yang aku sukai. Apa yang terjadi dengan ayah kita sekarang berkaitan erat dengan apa yang ia alami dahulu, adalah obsesi yang pada akhirnya membutakannya akan banyak hal. Diantara saudara-saudaranya, ayah memang memiliki perkerjaan dengan gaji paling minim, dengan rumah dan kendaraan yang nggak lebih baik dari mereka, ia merasa menjadi manusia gagal karena banyak hal, dan tak ingin anak-anaknya menjadi cetakan yang sama dengannya. Obsesi untuk menjadi lebih baik dari saudara-saudaranya, dan kebetulan dia di karuniai tuhan tiga anak dengan kecerdasan di atas rata-rata pada akhirnya menjadi faktor yang membuat dia memberi kita banyak beban dari yang seharusnya hingga membuat kita terkekang,-“
Aku tertegun, aku tak pernah tahu sisi ayahku yang ini. Aku terkisap kisahnya. Terkejut karena dia ternyata tahu lebih banyak daripada aku. Lebih terkejut lagi karena aku seperti tak mengenal ayahku dengan baik.
“-Aku adalah prototipe pertama tempat ayah menjejalkan banyak mimpi dan keinginan pribadi yang harus aku laksanakan, tidak salah memang. Aku juga mengalami dilema yang kamu alami, menjadi korban mimpi orang tua. Mengalami banyak tekanan dan keharusan sebelum akhirnya aku berontak dan kabur dari rumah,” katanya terkekeh, “jiwa bebaslah yang mempunyai banyak andil di hidupku Bell, menjadi backpaker saat muda, nikah sama bule, dan menjadi pengelola agen wisata di Sydney bersama istri. Itu adalah pilihanku dan harus aku pertangung jawabkan sendiri. Pemberontakanku juga jadi ancang-ancang ayah buat lebih overprotektif sama kamu, sebagai anak lelaki selanjutnya yang bakal jadi tumpuan mimpi dan obsesinya. Tapi, ternyata kamu juga menjadi pemberontak juga, sama seperti aku, dan hal itu menyakiti ayah untuk kedua kalinya. Lengkap dengan fakta jika kamu tak ingin menuruni agama dan orientasi seksualnya, itu hantaman yang besar buat ayah Bell. Memberi dia rasa sakit yang telak, pengalaman yang nggak mungkin dia lupakan,”
Mataku mulai berkaca-kaca, aku mulai paham kenapa ayah ngotot sekali memaksaku menjalani banyak hal saat masih sekolah dulu, seakan-akan kabut pemberi jarak antara hubunganku dan dia langsung tersibak. Ia menanamkan obsesinya untuk aku jalani dan membuatnya nyata. Ia menanam mimpinya di dalam diriku untuk aku wujudkan dan aku pangkas mimpi itu saat mimpi itu akan berkembang.
“Belasan tahun aku memang nggak hadir di keluarga kita, menjadikanku sosok samar dan mampu untuk di pinggirkan. Aku nggak mempermasalahkan hal itu, ayah kita tetaplah orang yang kolot dan sulit untuk menerima sudut pandang baru, kita nggak bisa nyalahin dia buat hal itu. Dengar ini baik-bak Bell, sebesar apapun kita buat luka di hati ayah, luka yang di rasakan ibu jauh lebih besar. Di belakang ayah, aku sama ibu memang sebisa mungkin menjalin silaturahmi, lewat ibu dan Andi aku juga jadi tahu dua sudut pandang terhadap peristiwa yang kamu alami. Aku nggak bakal ngehakimi orientasi seksual atau apapun yang kamu lakukan karena bagiku hidup itu sesimpel pilih A atau B dengan berbagai resikonya, kamu minggat, coming out, itu ada resikonya, apalagi di Indonesia, masih banyak benturan. Aku nggak minta kamu buat pulang ke rumah, tapi aku minta kamu buat kembali menjalin hubungan sama orang tua kita. Setiap orang pasti membuat kesalahan Bell, tapi kita nggak meninggalkan keluarga. Jika aku tak terhalang jarak dan banyak hal, aku pasti sering mengunjungi kalian, tapi kehidupanku disini dengan dua anak, belum stabil. Jadi aku mohon, perbaiki hubunganmu sama ibu sama ayah, okey?”
“Okey,” kataku berjanji pada diriku sendiri. Kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa aku kendalikan. Kata pertama dalam komunikasi pertamaku dengannya setelah sekian lama.
“Sekarang kamu ganteng ya?” ujarnya dengan senyum lepas, “nggak kaya pas kamu kecil dulu, item, ingusan, jengkelin, terus bentar-bentar nangis, ngadu ke ibu, biar aku sama Sherin di marahin. Masih cengeng apa nggak kamu Bell?”
Aku tak bisa menjawabnya. Beberapa bulan terakhir air mata menjadi menu wajib dalam menjalani hidup.
“Pasti masih!” serunya mengolok-olokku. Sebelum tawa lantang memberondong dari kerongkongannya.
Aku suka tawanya. Seperti tawa ayahku dulu. Apa dia masih bisa tetawa setelah dua anak lelakinya meninggalkannya? Hatiku mengkerut memikirkan hal itu.
Kusambut dengan senyum cengengesan, “kamu mulai jalin hubungan lagi sama ibu mulai kapan?” kataku berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Enam tahun lalu, pas aku nganterin rombongan turis buat famtrip keliling Solo-Jogja-Semarang. Aku sempetin waktu buat mampir ke rumah dan ketemu ibu disana. Ayah sama Sherin nggak ada di rumah, aku minta maaf sama ibu dan kita saling memaafkan sebelum akhirnya aku nyusul rombongan, mulai saat itu aku jalin hubungan lagi sama ibu. Dia cerita semuanya, dia sedih kita berdua nggak ada yang dateng di nikahan Sherin,”
“Mbak Sherin udah nikah?” tanyaku terperanjat. Kenapa aku sama sekali tak dapat kabar soal hal ini? Apa sebegitu bencinya ayah denganku? Hingga menyuruh anggota keluarga lain tak memberi kabar bahagia itu untukku? Atau aku sendiri yan memutus komunikasi hingga mereka tak bisa mengabariku?
“Nggak sampe setahun kamu minggat dari rumah, Sherin sekarang udah punya anak Bell,” ocehnya memberiku informasi, “jadi total kamu punya tiga ponakan,”
“HAH?” seruku tak percaya, “banyak banget? Kamu kok udah punya anak dua tapi kok nggak ngasih kabar sama kita-kita?” tanyaku berusaha membalik keadaan, “udah ngerasa hebat karena nggak butuh ibu sama ayah lagi?”
“Lha kamu apa kabar?” sahutnya membuat hatiku mangkel, “mentang-mentang punya cafe kece di Solo, bisa hidup mandiri terus lupa sama keluarga,”
Hatiku panas mendengar hal itu, lalu kuambil jalan tengah, “Oke-oke, kita skor kita sama. Terus kamu punya kontaknya Andi dari kapan?”
“Empat atau lima bulan lalulah, cuma buat ngecek keadaanmu aja kok. Ibu yang kasih kontaknya, dia sering banget maksa aku buat nyuruh kamu pulang. Tapi aku nggak bisa ngelakuin hal itu, aku aja nggak pulang hampir dua belas tahun, masa iya aku harus maksa kamu pulang ke rumah, kan nggak etis banget,” ia terkekeh lagi, semakin lama aku berbicara dengannya, semakin lama wajah ayah melekat di pikianku. Tawa dan wajahnya benar-benar seperti cetakan ayahku, “tapi pas Andi ngasih kabar kamu O.D terus gagal bunuh diri, aku terpanggil buat ngasih sedikit wejangan sama kamu. Biar kamu nggak ngambil keputusan secara random, IP tinggi tapi kalau otak nggak digunain buat mikir ya sama aja. Gini Bell, Kamu nggak harus pulang ke rumah itu, lagian kamu juga sekarang sudah mandiri dan punya rumah sendiri, tapi kamu wajib Bell buat rekonsiliasi sama orang tua kita. Minimal ibu dulu deh, dia tertekan banget sama keadaan keluarganya kaya gini. Sedih aku denger ceritanya, tambah miris kalau pake air mata,”
Hatiku bergetar mendengar kalimat terakhirnya, “Aku janji aku bakal perbaiki hubunganku sama orangtua kita,” kataku sungguh-sungguh.
Keenan kembali tersenyum puas, matanya berbinar saat mendengar kalimatku barusan, “Nah, gitu dong, itu baru adikku,” tambahnya bangga, “yang lapang jalani hidup Bell. Santai aja, kamu nggak bakal di usir atau di gampar lagi kalau ketemu ibu dulu, dia kangen banget sama kamu. Sumpah deh!”
“Terus kalau masalah orientasi seksualku gimana?” tanyaku muram.
“Kalau masalah itu kamu sama ibu harus bicara hati ke hati Bell, kasih dia pengertian. Jelasin semuanya baik-baik. Aku rasa ibu sudah belajar dari sepi dan kehilangan dua orang anak lekakinya kok, ibu ngak sebebal ayah Bell, santai aja. Perasaannya lebih halus,”
Aku manggut-manggut, setuju dengan ucapannya barusan. Lalu, kulempar bom yang selama ini aku simpan di dalam fikiranku, mungkin ini saatnya, kataku dalam hati, “Aku kadang ngerasa kalau aku jadi gay gara-gara kamu lho bang,”
Alis Keenan bertaut dan jidatnya berkerut. Ia terkejut dengan kalimat yang baru saja tergelincir dari bibirku.
“Pernah nggak sih kamu mikir kalau apa yang kamu sebabkan itu lebih dari yang kamu bayangin?” tanyaku lagi. Berusaha menggugah hatinya.
“Kamu butuh perlindungan seorang kakak yang akhirnya buat kamu kaya gini?” tebaknya jitu.
Kuulas senyum hambar di wajahku.
“Aku rasa kurang lebih kaya gitu. Aku nggak punya trauma psikologis atau  perlakuan nggak baik yang mengakibatkan orientasi seksualku berubah menjadi seperti ini, masa laluku berjalan dengan semestinya. Aku menjalin hubungan sama Willy karena dia bisa ngasih apa yang aku butuhin dan mengisi sosok yang aku rindukan,”
“Kamu nggak mikir karena faktor lain Bell?” tanyanya dengan nada meragu, ada beban di sorot matanya.
“Mungkin ada, tapi itu yang paling mendominasi,”
“Tapi kamu sudah risetkan Bell kalau orientasi seksual itu nggak bisa di ubah dan itu datang secara natural?”
“Aku paham kok kalau tentang hal itu, aku juga butuh waktu lama untuk berproses sebelum akhirnya comingout,” kataku semangat, senyum terulas di wajahku, berusaha agar ketengangan kakakku mencair.
“Kalau gitu aku minta maaf buat hal itu,” katanya dengan nada serius, “karena pikiran belum matangku dan egoku yang membuatku meninggalkan kamu dengan segala sifat ayah dan membebanimu dengan banyak tugas yang seharusnya aku lakukan. Aku minta maaf banget buat hal itu Bell,”
Kurasakan tulus dalam permintaan maafnya. Kepalaku mengangguk, memberinya persetujuan maaf.
“Aku udah lama berdamai dengan hal itu kok bang. Aku nggak nyalahin kamu, aku tadi cuma ngungkapin pikiran kekanakanku aja, lagian siapa yang betah sama sifat ayah yang penuh tekanan kaya gitu?”
“Tapi kamu nggak bisa lihat ayah cuma pakai sudut pandang itu aja Bell, ayah juga sudah melakukan jatahnya dengan baik kok. Aku masih punya banyak kenangan indah tentang ayah kok Bell, walau mentok sampai SD aja. Cepet sembuh, maaf aku nggak bisa kesana, ada kerjaan yang baru aja masuk nih, kapan-kapan disambung lagi ya,”
“Iya, jangan bilang mbak Sherin atau ibu tentang keadaanku ini lho,”
“Oke, kamu yang santailah,”
Setelah menutup panggilan telefon, dia mengirimkan foto seluruh keluarganya. Istri dan dua anak berwajah lucu dengan rambut berwarna pirang, anak gadisnya bermata abu-abu dan anak lelakinya menuruni mataku dan mata ibu. Kujadikan foto itu wallpaper di handhponeku, menggantikan foto Willy yang bertahun-tahun bersemayan sdisana.
Hampir satu minggu aku berada di rumah sakit, teman-temanku gantian menjagaku, bahkan beberapa dari Jogja sengaja menginap untuk menemaniku menghadapi masa-masa tak stabilku ini. Satu minggu selanjutnya baru aku mulai kembali berbaur dengan suasana Reve yang aku rindukan. Hari pertama aku keluar dari rumah sakit, aku tak langsung menemui keluargaku. Mental dan fisikku masih tak stabil, aku juga tak ingin mereka melihatku dalam keadaan seperti ini.
Duniaku kembali berjalan seperti apa adanya, setiap selasa dan kamis sore usai pulang dari cafe, kuhadirkan ragaku di bioskop, menonton film apapun yang tayang pada hari itu. Lalu mampir ke Toga Mas atau Gramedia terlebih dahulu sebelum akhirnya pulang dan terlelap tanpa obat penenang.
Aku damai dan bahagia tanpa dia.


Kisah selanjutnya   Klik disini                                                                   




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: