Review : Istirahatlah Kata-Kata

2:18:00 AM Admin 0 Comments



Review : Istirahatlah Kata-Kata

Saya mengenal Wiji Thukul karena doktrin seorang mentor dalam banyak hal, dia memujanya seperti memuja Pramudya Ananta Toer, tapi saya merasa dia lebih menggilai Thukul daripada Pram. Film ini saya niatkan untuk membuka lembaran manis saya menonton film Indonesia di tahun ini sebelum saya dijebak teman-teman muda dewasa yang masih sering kumat alaynya untuk menonton drama paling nggak penting di awal tahun, Promise. FTV yang di pindah ke bioskop, bahkan saya melihat banyak FTV lebih bagus daripada film Promise yang hanya bisa nikmati setting luar negerinya saja, kembali lagi ke Istirahatlah Kata-Kata.
Istirahatlah Kata-Kata mengupas tentang Wiji Thukul yang terkenal menyuarakan keadilan pada rezim Orde Baru, dia dituduh bertangung jawab dibalik pengerahan massa seperti beberapa aktifis lainnya hingga dia harus meninggalkan istri dan anaknya di Solo dan bersembunyi di Pontianak selama kurang lebih delapan bulan dan kini tak diketahui keberadaannya. Selama di Pontianak, secara berkala dia harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari intel dan aparat. Di Solo, istri dan anak-anaknya bahkan di interogasi untuk memperoleh keberadaannya. Film ini kebanyakan sepi, mencekam penonton degan rasa tak nyaman karena kesepian itu sendiri. Sepi yang membantu kita untuk menyelami bagaimana situasi Thukul saat sendiri, bagaimana paranoidnya dia jika disergap diam-diam yang membuat penonton semakin tak nyaman.
Adalah akting brilian Gunawan Maryanto yang fasih menerjemahkan gerak-gerik, ekspresi wajah, dan laku Thukul dengan begitu mempesona, dan jangan lupa saat dia mengalunkan puisi-puisinya yang membuat hati kita tersayat-sayat. Bagaimana rindunya dia untuk bertemu Sipon yang dimainkan begitu luwes oleh Marissa Anita dan peran-peran pendukung yang pas dan tak mubaazir. Hingga akhirnya kita akan dihantam oleh emosi besar saat film ini berakhir.
Saya yakin para aktifis di Indonesia tahu betul siapa Wiji Thukul seperti mereka tahu siapa Pramudya itu sendiri, tapi film ini penting untuk generasi muda seperti saya untuk tetap mengingat bagaimana dia berjuang, melawan dengan kata-kata hingga akhirnya lenyap entah dimana. Dan meninggalkan kata-kata yang dipaksa untuk beristirahat.
Film ini seindah puisi, tanpa musikalitas berlebihan tapi pas dan kebanyakan menghadirkan sunyi. Begitu pula dengan jalan ceritanya yang lamban, dan penuh dengan adegan one take yang menakjubkan, luar biasa dan cantik sekali. Belum lagi dengan deretan dialog natural dari para pemerannya, puisi-puisi yang dinarasikan dengan menyayat hati, duh, beneran film juara, film ini benar-benar penghormatan bagi Wiji Thukul. Mengingatkan saya akan film-film bangsat Indonesia tahun lalu, Atirah, A copy of My Mine dan Surat Dari Praha, film dengan kualitas diatas rata-rata tapi mendapat jatah layar di bawah rata-rata film-film sok baper yang nggak berguna.
Memang, tipikal film seperti ini bukan untuk dikonsumsi banyak orang karena mengalun lambat, sunyi penuh bahasa gambar absurd tapi punya maksut tertentu dan berhasil menggambarkan suasana pengasingan Thukul dengan kenunyian dan paranoid intel dan aparat keamanan yang mencari dirinya. Benar-benar film super yang akhirnya mampu membawa mood saya kembali cerah untuk menonton film-film Indonesia lagi. Film ini penting, berdialog natural, berakting juara, dan sangat puitis. Jauh dari glorifikasi dan sangat membumi. Indah.
Ayo cepat ke bioskop, sebelum ini turun dari layar. Biasanya film-film seperti ini tak akan sampai dua minggu karena sepi peminat. Andai, film-film seperti ini mendapatkan jatah layar lebih banyak di bioskop J



Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai. Puisi singkat tersebut membuat Thomas dan Martin, kedua sahabat Wiji Thukul, spontan tertawa. Saya juga ikut tergelitik tanpa menyadari makna dahsyat yang terkandung dalam puisi tersebut. Tampak seperti lelucon, tetapi kemudian olahan kata ciptaan si penyair kerempeng yang sedang melarikan diri dari kejaran rezim bangsat tersebut, lambat laun berhasil menghantui saya sewaktu sedang asyik-asyiknya buang hajat. Lebih menghantui ketimbang adegan kepala nongol dari toiletdi film Telaga Angker (1984), mimpi buruk tersebut bikin saya tidak berani berak malam-malam sewaktu kecil. Orang yang merdeka itu bisa berak kapanpun dia mau, tanpa harus terpenjarakan oleh rasa takut. Orang merdeka itu beraknya tidak perlu sembunyi-sembunyi, karena takut digerebek sama aparat. Istirahatlah Kata-Kata itu menyadarkan arti bebas dan merdeka, meskipun Yosep Anggi Noen menjelaskan hanya bermodal adegan Wiji Thukul jongkok berak sambil cengar-cengir berbisik “bau tai” kepada Sipon. Bahasa visual Anggi dan kekuatan kata-kata Wiji Thukul kompakan menciptakan kedahsyatan dalam Istirahatlah Kata-Kata.
Sebait kisah pelarian Wiji Thukul sampai ke Pontianak memang disampaikan tak banyak bicara, tapi selama 90-an menit, dengan penampakan yang sederhana itu, Anggi danIstirahatlah Kata-Kata-nya mampu membuat saya mengerti beraneka ragam rasa yang terperangkap dalam raut muka seorang Wiji Thukul. Rasa yang nantinya akan terbebas kala Wiji Thukul melampiaskannya di atas secarik kertas kucel. Istirahatlah Kata-Katamenyiulkan kegetiran yang tersembunyi di antara kesunyian. Menyuarakan kepedihan yang terbungkam dalam kebisuan. Bisikkan kepiluan yang tergeletak tertutup oleh bayang-bayang malam. Istirahatlah Kata-Kata pun meneriakkan ketidakadilan yang semakin mencekik kala listrik sedang padam. Namun nyanyian perlawanan tidak akan pernah bisa dipadamkan, masih ada terang cahaya lilin hasil beli di warung. Istirahatlah Kata-Kataadalah sebuah peringatan, mengingatkan lagi bahwa dulu negeri ini pernah punya masa dimana orang bisa terenggut kemerdekaannya untuk berak dengan tenang, hanya karena dia membuat puisi jujur tentang rezim yang zalim. Rezim yang takut dengan laki-laki ceking yang berani berkata-kata soal kebenaran.
Dalam Istirahatlah Kata-Kata, kita tidak sekedar menonton, tapi diajak berdialog, mengobrol, layaknya adegan Wiji Thukul bercengkrama dengan dua sahabatnya di pinggiran sungai Kapuas. Blak-blakan bercerita, tidak melulu harus serius tapi adakalanya dibawa duduk santai dengan seteguk guyon dan cemilan humor, agar kita bisa sedikit nyengir memperlihatkan gigi-gigi yang kuning. Obrolan yang tak selalu berkomunikasi lewat kata, meski begitu Anggi mampu menyampaikan apa yang sedang dirasakan oleh Wiji Thukul, bukan hanya tentang ketakutan bakalan ditangkap, tapi juga soal kerinduan dengan Sipon. Istirahatlah Kata-Kata tak mau kalah dengan Habibie & Ainun, maka Anggi turut juga mencelupkan kisah asmara sepasang suami istri yang terpaksa terpisah jarak. Cinta-cintaan yang tidak pakai adegan hiperbolik untuk mengungkapkan rasa sayang, sesederhana membelikan istrinya sebuah celana sebagai oleh-oleh, bagian manisnya adalah Wiji tidak lupa untuk mencucinya terlebih dahulu. Istirahatlah Kata-Kata membuat kita tak saja dekat dengan sosok Wiji Thukul, sisi emosional kita pun “dipaksa” untuk melekat dengan hubungan antara Wiji dan istrinya, Sipon.
Wiji Thukul mengambilkan segelas air untuk menenangkan Sipon, dia lalu pergi, dalam hati saya berharap Wiji kembali dari dapur membawa kacang goreng, lalu film berakhir bahagia. Detik demi detik berlalu, tapi batang hidung peseknya tak kunjung muncul, barangkali Wiji sedang berak, saya masih berharap dia muncul. Setelah Sipon menyudahi tangisnya, dia berdiri berlanjut dengan menyapu, layar kemudian gelap. Ah! tai benar Anggi dengan segala metafora bangsatnya. Adegan pamungkas di Istirahatlah Kata-Katatersebut mungkin akan berbeda efek serta rasanya, apabila Anggi tidak berusaha membuat kita lengket dengan Wiji Thukul dan Sipon, yang dilakonkan Gunawan Maryanto dan Marissa Anita dengan penuh penjiwaan, performa dengan totalitas yang menggetarkan. Istirahatlah Kata-Kata benar-benar mengesankan bukan sekedar karena adegan penutup yang berhasil menghantam dan menghancurkan, keseluruhan durasinya dibuat penting, semua adegan menyatu untuk membuat film ini menjadi tontonan yang istimewa. Karya yang memberi penghormatan sekaligus penolakan untuk melupakan. Karya yang menyadarkan sekaligus mengingatkan.

You Might Also Like

0 komentar: